Photobucket - Video and Image Hosting
Monday, January 31, 2011

Romantisme Warteg Saat Ide Mandeg

Seingat saya, warteg atau warung tegal baru masuk ke dalam bagian dari hidup keseharian adalah pada pertengahan tahun 1993.

Masa kecil hingga saya berbaju putih abu memang jarang sekali dilintasi momen makan di restoran atau bahkan warung makan biasa. Makan pagi, siang dan sore itu lebih sering berkutat di ruang tamu rumah atau di pojokan lain di dalam dan luar rumah.

Juga ketika saya sudah mulai pulang lebih lama dari jam sekolah, makan siang atau sesekali makan malam itu biasa dilemparkan pada momen makan di rumah teman.

Mencicipi masakan orang tua atau pembantu mereka.

Nah, ada satu momen yang lucu dimana saya menjatuhkan telur gulai yang masih utuh hingga berguling liar di lantai dingin rumah Ismir saat saya hendak memotong telur itu dengan sendok. Ketika itu, saya masih kelas 4 SD.

Malu?

Luar biasa. Tak terkatakan lagi.

Tapi saya berkeras untuk memakan telur itu. Kuman dan bakteri mungkin saja sudah mati karena tertimpa telur utuh itu. Kalaupun cuma pingsan, rasanya tak sempat mereka bangun melebihi kecepatan sendok dan tangan saya yang bekerjasama mengembalikan telur itu kembali ke atas piring.

Tahun 1993, saya memulai hari-hari buas di tanah rantau. Tak jauh, memang. Hanya sekitar 183 kilometer saja dari rumah Ledeng. Empat setengah hingga 6 jam perjalanan Bis Ekonomi, atau tiga setengah hingga empat setengah jam perjalanan Bis Patas AC. Semuanya masih lewat puncak. Jalan Tol Cipularang mungkin masih belum berbentuk janin sekalipun.

Tahun 1993, saya mulai mengenal warteg di daerah Kukusan Teknik, Depok. Kukusan adalah nama kampungnya. Teknik adalah titel yang dilekatkan karena perkampungan ini letaknya persis di belakang Kampus Teknik Universitas Indonesia.

Bagi saya saat itu, warteg adalah pilihan rumah makan murah yang bisa menjaga kelangsungan keberadaan lembaran-lembaran rupiah dalam dompet eiger palsu dengan motif spiderman saya.

Menunya kadang sama dan membosankan. Tapi keseharian saya saat itu tak menyisakan pilihan, meski banyak orang bijak bilang jika pilihan itu selalu ada.

Tapi, ini bukan omong kosong.

Saat itu memang tak ada pilihan lain.

Jadi, akrablah saya dengan warteg. Mulai dari beberapa warteg jawa hingga warteg Bang Udin yang nyatanya tak bertahan lama, entah karena alasan apa.

Entah kenapa, saya merasa istimewa setiap kali makan di warteg.

Mereka tak pernah protes atau mendelik sinis meski saya hanya memesan nasi setumpuk penuh dan sayur gratisan.

Meski praktis, saya hanya membayar nasi itu saja. Saya bahkan kerap meminta air putih dibungkus kantong plastic untuk dibawa pulang.

Tahun 1995, saya, Hadi dan Haries punya tambahan langganan warteg yang baru. Letaknya ada di ujung simpang jalan margonda dan nusantara, masih di kawasan Depok. Warteg itu kerap kami buru setiap kali kami selesai latihan fitness di satu tempat fitness yang saya sudah lupa namanya.

Saya selalu memesan tambahan nasi. Mungkin karena nafsu makan yang menggila karena tenaga terkuras di alat-alat kebugaran itu. Atau juga mungkin karena aku berpikir untuk tak makan lagi setelah itu hingga tidur menjelang.

Biarlah lapar itu melepaskan rindunya pada bubur atau nasi uduk keesokan paginya.

Tahun demi tahun berlalu. Belasan bahkan puluhan warteg pun saya hampiri. Tetap dengan beberapa ciri khas yang tak pernah pudar.

Tetap dengan kerinduan saya.

Tetap dengan ramainya dinamika pemuasan batin saya.

Ya, pemuasan batin.

Tak bisa dipungkiri, warteg telah banyak membantu.

Membantu menyediakan makan saat keuangan saya terbatas.

Membantu mengenalkan pada banyak teman baru.

Membantu mendinginkan cuaca jiwa yang liar dan panas.

Dan satu lagi, warteg telah membantu menunjukan celah solusi bagi ide kreatif saya yang mandeg.

Seperti yang saya alami, saat masih bekerja di Astro TV.

Saya bukanlah pekerja yang bisa duduk seharian di depan komputer.

Saya lebih senang mengakrabi jalanan. Melodi itu ada di sana. Emosi itu ada di sana.

Namun, lagi-lagi namun, saya selalu ingin mencoba.

Berat, memang.

Ide saya seringkali buntu, seperti mencari hantu.

Saya pun akhirnya sering menyelinap keluar selama setengah hingga 2 jam untuk mampir di Warteg Shanti, tak jauh dari kantor.

Hanya untuk segelas kopi susu atau jeruk hangat dan beberapa batang sigaret.

Hanya untuk menyapa jalanan lagi untuk mengatakan bahwa saya tetap milik jalanan, bukannya milik gedung mewah yang penuh orang berdasi.

Hanya untuk mencari bala bantuan bagi otak yang mandeg.

Dan benar saja.

Otak saya selalu cair setiap kali duduk di bangku panjang dari kayu itu. Meski kadang harus membuat jarum jam penunjuk menit itu melintasi angka yang sama hingga dua kali.

Untungnya, tak pernah ada delikan sinis karena saya duduk terlalu lama dengan hanya memesan satu gelas kopi. Tak pernah ada perilaku penanda pengusiran dari pemilik warteg. Tak pernah ada tanda keberatan, dan malah kerap mengakrabi saya dengan aneka obrolan ringan.

Itulah kenapa saya selalu merasa istimewa setiap kali makan di warteg.

Otak saya tak mandeg.

Perut saya wareg.

Batin saya pun tak eneg.

Hingga aku kerap keluar dengan hati yang ajeg.

Wijaya, 24 Desember 2010.



dhank Ari at 5:10 PM





Bike to Bomb


Entah karena latah atau sekedar ingin beraktifitas lebih sehat, Ahmad bin Abu Ali memilih sepeda untuk melintasi jalan Kalimalang pada suatu pagi yang kembali datang dengan penuh kejutan itu.

Lebih sehat? Mungkin.

Lebih peduli lingkungan? Ah, mungkin juga.

Bukankah kedua alasan itu yang kerap ditempelkan penggiat aktifitas bersepeda di kota besar seperti Jakarta ini pada permukaan ucapan mereka atas tanya-tanya yang sebenarnya tak pernah nyata terlontar?

Bersepeda demi menyelamatkan bumi.

Bersepeda demi menyelamatkan diri.

Saya sendiri sudah menitipkan rupiah pada dua buah sepeda di rumah. Satu untuk saya, dan satu lagi untuk istri saya. Kami juga ingin bersepeda demi menyelamatkan bumi, demi menyelamatkan diri hingga mungkin saja nanti bisa menyelamatkan mobil tua kami dari kelebihan makan bahan bakar.

Nyatanya, berat bersepeda di kota yang hiruk ini.

Berat pula bersepeda di sibuk hari-hari yang mencekik.

Merasa bersalah, sebenarnya, pada bumi, meski tak pernah sempat meminta maaf setiap kali roda empat itu berderu dan memberikan tambahan asap bagi para penyelamat bumi di atas roda dua yang berputar tak sekencang roda dua lain yang jumlahnya makin menggila seperti kelinci.

Jadi, saya seperti ingin bertanya pada Ahmad bin Abu Ali saat ia memilih sepeda pagi itu, “Kenapa roda dua yang kau lajukan pagi itu?”

Latahkah kau, seperti jutaan orang Indonesia lain?

Atau mungkinkah kau rindu pada hadirnya komunitas penanding “Bike to Work”?

Bisa jadi, sepeda memang satu-satunya alat transportasi yang ia punya. Pergi ke pasar, ke rumah teman, ke kantor kelurahan, ke tempat kerja, atau ke ujung manapun di bumi, kau kayuh sepedamu.

Tapi kenapa harus meledak, Ahmad bin Abu Ali?

Saya juga rindu komunitas, tapi saya tak pernah terpikir untuk membuat komunitas “Bike to Bomb”

1 Oktober 2010



dhank Ari at 5:06 AM



Thursday, January 27, 2011

Angka Cantik Yang Tak Lagi Lentik

Saya suka prosesi isi bensin di hampir seluruh SPBU Pertamina.

Selain karena alasan yang memang menjelma sebagai sebuah keharusan, saya punya alasan lain yang lebih personal.

Yang lebih sensasional.

Saya suka deretan angka cantik yang selalu serupa, yang kerap keluar dari layar indikator volume premium yang berpindah tempat ke tangki mobil saya. Angka-angka cantik yang datang sebagai konversi dari nominal rupiah yang saya cerabut dari dompet atau dari saku celana saya yang makin sempit saja.

Maklum, saya kerap membulatkan nominal rupiah setiap kali isi bensin, hingga angka cantik itu terus keluar dalam rupanya yang berbeda-beda.

Kadang nominal itu adalah 200 ribu rupiah. Kadang 100 ribu rupiah. Kadang juga, 50 ribu rupiah saja jika dompet teramat tipis oleh rupiah yang bisa disisihkan untuk bisa memenuhi isi tangki.

Dengan premium seharga 4500 rupiah di Pertamina, saya suka sekali setiap kali angka-angka digital ataupun angka-angka tradisionil di layar indikator volume itu muncul. Kadang 44,44. Kadang 22,22.
Kadang juga, 11,11.

Angka cantik, saya sebut angka-angka itu.

Angka-angka yang kemudian seperti bulu mata lentik perempuan manis yang mengerling manja ke arah saya.

Angka-angka cantik yang eksotik meski tak pernah dibubuhi lipstik.

Namun, sebulan terakhir ini benar-benar menggelisahkan.

Ada berita buruk, meski masih merupakan perdebatan yang belum menemukan bukti yang valid. Kualitas bahan bakar premium di Pertamina disinyalir memiliki kualitas yang sangat buruk, hingga dapat merusak salah satu suku cadang kendaraan yang biasanya jarang mengalami kerusakan, kecuali oleh usia pemakaian. Satu per satu kasus kerusakan pompa bensin mobil bermunculan (pada umumnya taksi), yang jumlahnya bahkan mencapai hingga sekitar 6000 buah mobil.

Sungguh mengejutkan.

Berita yang kemudian menyeret saya pada sebuah malam, sekitar tiga bulan yang lalu.

Mobil saya mogok di jalanan sepi di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Niat untuk bergegas sampai di rumah agar bisa segera melintasi malam dengan lelap, hilang begitu saja. Saya malah harus bersimbah keringat, mulai dari mencari bantuan mobil derek hingga upaya keras mengantarkan mobil itu ke garasi saya yang terbuka.

Oh, my dear sweet galancy!

Usut punya usut, pompa bensin mobil saya rusak. Tak mampu lagi menggenjot bahan bakar dari tangki menuju turbin. Sebagai konsekuensi, saya tipiskan lagi isi dompet untuk membeli pompa bensin baru sambil berpikir keras untuk mencari cara untuk mengisi dompet itu kembali, selain oleh kartu nama dan slip ATM.

Apa mungkin pompa bensin saya juga rusak karena kualitas premium yang buruk?

Saya tidak tahu pasti.

Bisa jadi juga karena faktor usia mobil saya yang memang sudah uzur. Nyaris 16 tahun.

Tapi, saya tak bisa bohong jika saya benar-benar terganggu.

Angka-angka cantik itu pun nyatanya tak lagi menjelma sebagai bulu mata lentik seorang perempuan cantik.

Angka-angka cantik itu kini seperti noda setitik, yang lantas bisa merusak susu sebelanga.

Dan kemarin malam, saya sudah beralih dari Pertamina, dan menjauh dari kesenangan saya memelototi angka-angka cantik itu.

Saya mendapati angka itu berubah menjadi 32,25. Entah angka apa lagi yang akan saya temui nanti, terutama ketika dompet itu juga sedang tipis oleh rupiah.


10 Agustus 2010


dhank Ari at 8:03 AM



Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

____penyuka :
jazz
puisi
sastra

____jejak setapakku :
+dalam gambar
+dalam puisi
+dalam menjelajah
+dalam jalin teman

____teman :
+Ade Pepe
+abe
+alaya
+bagus
+brewok
+budi
+buyung
+dewi kekasihku
+d juice
+desan
+didit
+dita
+djim
+dreamer
+e
+fira
+gendhot
+iebud
+ienk
+indie
+irma
+kang masanom
+luigi
+mona
+nita
+ochan
+poppi
+penyair kelana
+rieka +steyla
+smara
+yuhyi
+yunus

uncle 2B

by wdcreezz.com

Name

Email/URL

Message

____tulisan terdahulu:

code
here


Designer
LX