Photobucket - Video and Image Hosting
Thursday, August 31, 2006

penyanyi bis kita
ditemui beberapa bulan yang lalu

Aku belum sempat menanyakan namanya. Tidak ada celah. Mengambang seperti buangan nafas. Hanya membekas saja keinginan itu beberapa saat seperti wangi aroma kopi tubruk panas!

Aku belum sempat menanyakan namanya. Hanya dua buah lagu yang dia nyanyikan sajalah yang aku ingat. Lagu lama; irama aku kenal, tapi judulnya aku tak yakin benar.

Suaranya bagus, menurutku. Bukan saja untuk ukuran orang seusia dia, melainkan juga untuk ukuran seorang penyanyi jalanan yang mungkin sekali tak pernah mencicipi bangku sekolah musik atau olah vokal.

Ingin mengenal dia, terutama karena alunan suara dan musiknya bisa menghibur. Dan itu cukup. Seorang pengamen jalanan yang hadir di Bis Mayasari jalur P6 telah membuat siang terik ini terasa sedikit tenang. Jadi, sungguh ingin mengenal dia. Namun, sambil berjalan di jembatan penyebrangan, aku mulai mengambil jalan tengah : mungkin tak perlu berkenalan secara harfiah dengannya, melainkan cukup dengan mengenang siang itu dengan baik.

"...biarlah menari seluruh imaji dalam awan-awan surga kesan yang tak berujung...dan jadikan matahari esok sebuah jabatan tangan erat dengannya...."


dhank Ari at 8:15 PM



Wednesday, August 30, 2006

Photobucket - Video and Image Hosting
Bodoh
sebagai lelaki

Jika ada lelaki yang paling bodoh dalam memahami keinginan pasangannya---atau istrinya---di seluruh dunia, aku mungkin akan menjadi nominasi yang paling kuat.

Seperti hari ini, dan juga di banyak sekali hari-hari yang lalu. Aku lagi-lagi menyesatkan diri dalam ketidakmengertian bertindak atas sebuah keadaan yang sebenarnya sudah aku mengerti. Aku memahami perasaan dan posisi istriku, setidaknya menurutku. Namun, aku kembali meringkuk seperti orang bodoh yang tidak tahu harus berkata apa.

Meskipun pada akhirnya aku buka suara, seringkali itu sudah sangat terlambat dan malah semakin membuatku terperosok. Ya, Allah, berikan aku petunjukMu. Tak perlu segera meski sangat aku harapkan secepat mungkin. Tak perlu tergesa karena aku tahu bahwa hati ini tak akan pergi kemanapun juga, sampai kapanpun.


dhank Ari at 11:42 PM



Tuesday, August 29, 2006

Photobucket - Video and Image Hosting
Asumsi Berbahaya
terhadap seorang teman

Aku belum yakin jika dia itu adalah salah satu temanku. Hanya saja, aku juga tidak bisa menghilangkan kemungkinan bahwa dia memang benar-benar temanku. Mulai dari wajah, perawakan hingga cara dia berjalan, seakan menegaskan bahwa dia memang adalah temanku.

Katakanlah dia aku sebut X. Pagi tadi, saat berangkat menuju kantor, aku melihat dia sedang berjalan menuruni fly over sekitar kampus UI Depok. Pakaian yang dia kenakan sungguh aneh. Menyerupai jubah, hanya saja jubah ini seperti dirangkai dari kumpulan pakaian bekas yang berwarna warni. Dia juga mengenakan penutup kepala yang sungguh ramai oleh warna; tak jelas dari bahan apa.

Hanya sekilas aku melihat dia. Itu pun karena aku tergerak untuk memperhatikan dia karena pakaiannya yang tak biasa. Tapi saat wajah itu ternyata aku kenal, aku tak bisa menyembunyikan rasa kaget. Aku meloncat dan spontan menyebutkan namanya. Istriku mungkin terkejut dengan lonjakan itu.

Semoga saja aku salah jika aku mengasumsikan bahwa temanku itu sudah hilang kewarasannya. Berjalan dengan pakaian yang aneh, membawa beberapa bungkusan plastik dan berbicara sendiri sepanjang jalan, membuat aku tak bisa menyembunyikan asumsi itu. Berat. Maafkan aku jika aku salah menuliskan asumsi di pikiranku tentang kamu. Mungkin aku memang terlalu cepat menanamkan asumsi itu, mengingat pernah ada ingatan yang seakan mendukung asumsiku itu, tentang kamu.

Esok, aku akan menjemput kamu lagi. Semoga saja kamu tetap ada di sana dan menunggu. Harus kupastikan bahwa kamu tak seperti apa yang kuduga.


dhank Ari at 8:18 PM



Monday, August 28, 2006

Photobucket - Video and Image Hosting
Anak-anak FO
bukan penggila belanja, melainkan penggila recehan

Kalau ke Bandung, hampir pasti ke FO. Tidak selalu beli, karena memang tak selamanya ada uang lebih di kantong. FO masih mencuat sebagai kemewahan karena secara jumlah, pakaianku sudah cukup, tak pantas berlebih. Jadi kalaupun ke FO, sekedar mengantar temen atau saudara. Atau memanjakan istri. Meski aku akui, aku pun merasa perlu memuaskan mata yang sudah suntuk direcoki layar monitor dan arsip-arsip.

Minggu lalu, juga mampir ke FO, sore-sore. Bareng Dewi, sang istri, juga sama Liza, adik ipar. Sebentar waktu di Heritage, kami akhirnya keluar tanpa membeli apa-apa. Maklum, dalam drama penjelajahan FO hari itu, Heritage adalah yang pertama dikunjungi. Tak baik langsung membeli pada toko pertama yang dimasuki. Safir Senduk mungkin mengamini hal ini, begitu pula Mak Irit.

Di parkiran itulah, kami bertemu lagi dengan seorang anak berusia kurang lebih 7 tahun, yang 'rasanya' pernah kami temui juga di tempat yang sama akhir juli lalu. Anak perempuan itu kembali menghampiri kami. Dia menawarkan sepucuk surat kabar, untuk kami beli. Hanya sepucuk, tidak lebih, dengan kondisi yang sudah setengah lecek.

___Pak, Bu, korannya, Pak!___
___Tinggal satu nih!___
___Buat makan!___

Anak ini bukan tipikal penjual koran. Mungkin aku sok tahu, tapi setidaknya itulah yang muncul di pikiranku sore itu. Aku alihkan pandang pada istriku dan dia nampaknya mengerti maksudku.

___Dia bukan jualan koran. Tapi mengemis.___
___Ya___

Aku ingat Lina. Dia juga anak kecil seusia anak kecil tadi yang sehari-harinya duduk di samping sebuah tiang besar di basement Mall Depok sambil menjajakan kripik singkong---katanya buatan ibunya---sampai malam. Aku sempat beli kripiknya satu kali. Waktu itu, aku lebihkan 1000 rupiah karena aku tak tega melihatnya berjualan. Di tempat kost aku baru sadar, bahwa dia bukanlah penjual kripik singkong melainkan seorang pengemis yang menggunakan kedok 'berjualan kripik singkong' untuk menarik simpati orang.

Saat itu, aku tidak marah atau merasa tertipu. Walau bagaimanapun, dia tetap tak seberuntung aku. Tapi aku kembali menemui dia keesokan harinya. Selain akhirnya tahu bahwa namanya adalah Lina, aku juga kemudian tahu bahwa dia melakukan itu atas permintaan ibunya ---atau bisa jadi paksaan--- dengan alasan untuk uang jajan.

Perbincangan dengan Lina, 7 tahun yang lalu itu, lantas membuatku tersenjap. Mataku liar, mencari sosok ibu-ibu muda yang kemungkinan besar adalah ibu dari anak kecil yang menjajakan koran hanya sepucuk itu.

___Pasti ada ibunya di sekitar sini___
kataku pada istriku.

Dewi mengamini dan ikut mencari.

Tak lama, sosok ibu muda itupun muncul dan menghampiri sang anak, sambil membawa sebotol teh hijau dingin. Aku dan Dewi, mencoba memperkirakan apa yang sang ibu katakan pada anaknya saat memberikan minuman itu.

Mungkinkah begini? :
___Nih, hadiahnya! Kamu kerja bagus hari ini, jadi Mama jajanin deh___

Kenapa anakmu yang kau suruh mengemis sementara kau hanya duduk di pinggir jalan sambil ngomong ngalor ngidul sambil sesekali meniupkan asap rokok ke jalanan?


dhank Ari at 9:51 PM



Sunday, August 27, 2006

Photobucket - Video and Image Hosting
50 Rupiah
Lewat Superindo

Perut ternyata masih lapar. Masih menagih bagian yang memang adalah haknya. Aku seringnya tak bisa menolak, hingga wajar jika tubuh semakin tambun, terutama di bagian perut. Seperti Om-om yang banyak uang. Yang kurang olahraga.

Sampai di Mampang, aku mampir di Superindo; sejenis supermarket. Editing bukanlah pekerjaan mudah. Bisa jadi, aku tak sanggup berpikir jika perut tak bisa diajak kompromi.

Satu bungkus sosis ‘langsung makan’ dan dua buah roti. Terpatok harga 10.950 perak seluruhnya.

___Mas, uang 50 rupiahnya mau disumbangkan, gak?___
Tiba-tiba perempuan itu melemparkan pertanyaan.

Tadinya aku kira dia meminta uang pas.
___Gimana, mbak?___

___Kembalian yang 50 rupiahnya mau disumbangkan, gak Mas?___

___Oh, ya. Boleh!___
Spontan.

Dibutuhkan hampir 10 detik untuk sebuah pertanyaan dariku.
___Disumbangkan kemana, ya mbak?___

___Ke sekolah, Mas. Buat bayar uang anak-anak yang tidak mampu.___

Apa benar?, dalam hatiku.
Tapi tak kuucapkan pada perempuan itu karena mukanya berbinar saat mengatakan itu. Itu pula yang menenangkanku. Semoga saja, ini bukan pembodohan yang dilakukan oleh sang pelaku bisnis; sang eksekutor kapitalisasi. Pembodohan terhadap konsumen dan pembodohan terhadap karyawan.

Semoga juga bukan kebohongan untuk anak-anak sekolah yang memang membutuhkan biaya itu.

Amin.


dhank Ari at 8:34 PM



Friday, August 25, 2006

Photobucket - Video and Image Hosting
Pembantu Rumah Tangga dan Babysitter Tak Boleh Berenang
SAC di kawasan Cibubur

Berenang di sebuah kolam renang umum yang melarang pembantu rumah tangga dan babysitter untuk ikut berenang bukanlah titik maju dalam catatan perjalananku. Ini adalah titik mundur. Menegaskan bahwa maju di satu sisi, seringkali mundur di sisi yang lain.

Terus terang, aku tidak merasa telah menyentuh tingkat keberhasilan hanya karena aku tak lagi berenang di kolam renang umum dimana siapa saja bisa nyebur ke dalamnya. Aku malah sedih, atas limitasi yang sungguh mengagetkan. Mungkin dibuat tanpa berpikir secara hati. Mungkin dibuat sambil mengabaikan hati nurani.

Kolam renang itu memang bukanlah kolam renang umum biasa, melainkan salah satu fasilitas dari sebuah activity club yang biasa beranggotakan orang-orang kaya. Larangan seperti ini mungkin sudah umum di tingkatan gaya hidup mereka. Tapi tidak pada gaya hidupku.

Aku juga anggota klub itu, meski aku tak kaya. Atau terbiasa dengan gaya hidup orang-orang kaya. Aku tak bisa bohong jika limitasi dan diskriminasi seperti ini membuatku tak nyaman. Aku merasa telah menzalimi para pembantu dan babysitter itu, secara tak langsung. Pikiran ini terganggu. Tak tertahankan.

Ingin saja aku nyanyikan liriknya grup musik Serieus.
'pembantu juga manusia, punya rasa punya hati, jangan samakan dengan pisau belati'


dhank Ari at 4:11 AM



Thursday, August 24, 2006

Photobucket - Video and Image Hosting
Edisi Kenangan
VW Kodok biru B 1620 UK

Timothy Findley punya pandangan tentang kenangan. Menurutnya, kenangan menjaga kita untuk tetap sadar; seperti pencuci perut. Jika kita mampu mengenang, maka sepertinya kita akan mampu menyelamatkan hari ini. Kenangan seperti menjadi formulir harapan. Dia bahkan mengatakan bahwa kenangan yang buruk pun masih jauh lebih baik daripada tak punya kenangan sama sekali karena itu akan mengingatkan kita akan keberhasilan kita mengatasi hal yang buruk itu (survival). Kenangan juga merupakan simbol damai kita dengan waktu. Hilang ingatan sering dikaitkan dengan definisi bahwa kita lupa siapa diri kita; maka ini pun berlaku sebaliknya; kita adalah siapa yang kita ingat tentang diri kita sendiri. (Timothy Findley, Inside Memory : Pages from a Writer’s Notebook)

Aku teringat Si Biru alias VW Kodok Biru, dengan biru mutiaranya.

Tidak lama lagi, VW itu mungkin sudah berpindah tangan. Bukan milikku lagi.
Tak apa, sebenarnya. Apalagi, aku tak tega membiarkannya terus di muka rumah, tanpa pernah menyentuh jalanan lagi. Tapi, aku juga tak bisa pungkiri kalau air mata seakan selalu siap untuk menegaskan kesedihan; berpisah dengan mobil tua penggagas banyak sekali kenangan.

Dulu, sebelum keempat ban baru itu terpasang gagah di body-nya, aku selalu geli dan terkadang kesal saat memacu si kodok di atas 70 kilometer per jam. Si kodok selalu goyang body-nya, melebihi goyangan bajaj. Pilihannya ada dua, memperlambat laju kodok atau justru menambah laju sampai goyangannya hilang. Seringnya aku perlambat saja lajunya. Tak mudah menambah laju mobil di jalan-jalan Jakarta. Bisa menerabas sesuatu atau mencium pantat mobil orang.

Aku seringkali berpikir, apakah goyangan ini terlihat oleh mobil yang persis ada di belakang Si Biru. Kalau memang iya, mungkin mereka akan keheranan atau sekedar tertawa geli.

Goyangan si Kodok Biru. Entah kenapa, aku kini merindukan itu. Terutama merindukan perasaan yang kerap muncul di saat-saat itu.


dhank Ari at 2:00 AM



Tuesday, August 15, 2006

Photobucket - Video and Image Hosting
Teror Kopaja

Dalam pengertian yang sederhana, aku mengartikan teror sebagai perbuatan yang merusak atau menakut-nakuti orang. Tak perlu aku membawa definisi ini jauh ke Inggris sana, atau kembali pada tragedi WTC September 2001. Atau, tak perlu juga mengingat lagi Bom Bali Oktober 2002. Aku cukup mendapatinya tadi pagi, saat berangkat menuju kantor.

Pagi ini, kembali istriku menawarkan diri untuk ambil kendali dibalik kemudi Galant, atau Galancy, seperti yang biasa kami dengungkan kala memanggil mobil kesayangan kami ini. Lagi-lagi, istriku sial. Dia harus merengut dibalik kemudi karena macet yang luar biasa memuakkan. Aku sempat menawarinya bertukar tempat, tapi dia hanya tersenyum, dan memilih untuk memanjakanku di kursi penumpang (dimana aku bisa saja tidur jika mau, namun aku memilih untuk menemaninya menembus kemacetan).

Di tengah-tengah waktu inilah aku menemukan teror. Teror Kopaja dan Metromini. Bagaimana tidak? Deru gas yang digenjot seringkali membuat gentar pengendara motor dan mobil yang berada di dekatnya. Salah-salah jalan, bisa jadi mobil atau motor kita tergores. Atau, kita menjadi ragu-ragu untuk menginjak pedal gas. Tak tahu hendak kemana perginya metromini atau kopaja ini dengan derunya.

Sungguh sebuah teror. Dan sayangnya tak ada polisi yang bisa menghentikan teror itu. Aku hanya bisa memaki kencang atau menekan klakson berulang-ulang meski aku yakin mereka tidak ambil peduli.


dhank Ari at 3:11 AM



Sunday, August 13, 2006

Photobucket - Video and Image Hosting

Pembersih Lantai
Pada dedikasi bergaul dengan noda

Dia membersihkan lantai yang seringkali aku injak. Setiap hari. Bahkan kadangkala, aku berjalan dekat sekali dengan dia yang sedang membersihkan lantai sambil membungkuk dengan lap yang sudah mulai kumal itu.

Ah, andai aku bisa terbang hingga tak perlu menginjak lantai dan mengotori lagi lantai yang telah dia bersihkan.

Aku ingin sekali berbincang. Berbagi rokok atau membelikannya kopi susu.
Mungkin satu saat nanti, saat aku menyisihkan sedikit waktu di tengah waktu-waktu padatku di depan komputer dan di lapangan. Semoga saja, dia masih mau menunggu.

Aku seringkali tak tega. Membiarkannya membersihkan sisa-sisa sepatuku; yang telah melewati jalanan berdebu, atau mungkin sesekali sepatu itu menginjak kotoran (maaf). Aku semakin merasa bersalah karena seperti memberikan kotoran kepadanya.

Namun kemudian, aku sadar.
Meski dia membungkukkan badannya, membersihkan kotoran atau bersimpuh peluh karena injakan itu tak pernah berhenti, setidaknya dia tidak mengemis.

Aku terdiam di dalam lift, memikirkan pundi-pundi yang dia bawa setiap bulannya ke rumah.


dhank Ari at 10:53 PM



Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

____penyuka :
jazz
puisi
sastra

____jejak setapakku :
+dalam gambar
+dalam puisi
+dalam menjelajah
+dalam jalin teman

____teman :
+Ade Pepe
+abe
+alaya
+bagus
+brewok
+budi
+buyung
+dewi kekasihku
+d juice
+desan
+didit
+dita
+djim
+dreamer
+e
+fira
+gendhot
+iebud
+ienk
+indie
+irma
+kang masanom
+luigi
+mona
+nita
+ochan
+poppi
+penyair kelana
+rieka +steyla
+smara
+yuhyi
+yunus

uncle 2B

by wdcreezz.com

Name

Email/URL

Message

____tulisan terdahulu:

code
here


Designer
LX