Photobucket - Video and Image Hosting
Monday, August 09, 2010

Jakarta, 30 Juli 2010

Membuat orang senang itu pahala.

Menumbuhkan tawa di muka yang mengkerut itu juga pahala.

Keseharian memang perlu dicerahkan, perlu dilintaskan cahaya, meski mungkin hanya datang sesekali.
Saya selalu ingin menjadi lelaki itu. Penumbuh tawa. Namun saya tahu persis, saya sendiri kadang sulit menertawakan kebodohan saya sendiri. Padahal, seorang tua pernah bilang bahwa salah satu ciri kedewasaan adalah saat saya bisa menertawakan kesalahan-kesalahan saya sendiri, bukannya mengutuk atau menyudutkan diri di pojokan gelap yang menjerumuskan.

Maklum, tawa seringkali bisa mendinginkan pikiran saya yang panas, meluruskan penyimpangan-penyimpangan jiwa yang sedang sesat dan menegakkan kepala yang terus ingin tertunduk sambil menatap monotonnya aspal atau tanah yang berdebu. Hingga pada akhirnya, saya bisa lebih mudah memusatkan perhatian pada pemikiran yang positif.

Namun, lagi-lagi saya bilang, bahwa saya sulit menjadi lelaki itu. Seringnya, saya hanya membuat banyak lelucon yang tak lucu atau hanya terdiam mematung saat seseorang menantikan kata-kata surga atau sekedar tatapan menenangkan. Yang ada, saya hanya terus mencoba untuk menertawakan kesalahan-kesalahan saya, agar semakin terlatih dan mahir. Alhasil, aura positif saya mungkin tak banyak menular pada banyak jiwa-jiwa yang membutuhkan tawa itu. Pada jiwa-jiwa yang butuh keramaian nuansa yang menyenangkan.

Ah, tak apa. Toh saya memang tak akan berhenti berusaha.

Terutama untuk harmoni yang juga saya nikmati.

Lantas, ada sekelompok perempuan yang suka menyenangkan banyak lelaki.

Atau menyenangkan sekelompok lelaki tertentu, dengan keinginan dan kegemaran yang kurang lebih sama.

Perempuan-perempuan itu adalah perempuan-perempuan yang suka menyenangkan banyak lelaki dengan imbalan setumpuk rupiah.

Perempuan-perempuan itu adalah perempuan-perempuan yang kerap membawa barang dagangannya kemana-mana. Barang dagangan yang sebenarnya adalah titipan semenjak ia mula dilahirkan. Barang dagangan yang kadang bisa ia nikmati sendiri, terutama ketika menemukan pembeli yang kebetulan mereka suka.

Mereka terus melakukan jual beli, seakan sudah menjadi seorang pegawai pemasaran yang tak perlu sulit mengatur strategi penjualan atau menentukan neraca target dalam buku tebal yang penuh nomor telepon orang-orang tak dikenal namun berpotensi sebagai pembeli.

Biarlah para lelaki itu yang menekan nomor mereka.

Tak seperti tenaga pemasaran kartu kredit yang harus menatap lekat-lekat ribuan angka, sebelum akhirnya ia menekan tuts telepon bergaya Blackberry dan kemudian menandai tanda hitam di samping beberapa angka itu untuk setiap penolakan.

Biarlah para lelaki itu yang menangkap isyarat tersembunyi atau bahkan cukup dengan menunjuk salah satu hidangan dalam menu yang tertulis atau terpampang di meja display.

Inilah para perempuan yang suka menyenangkan para laki-laki.

Para tuan.

Inilah para perempuan yang juga sering membeli nasi pecel ayam dari Pak Jaya, sebelum atau setelah melakukan transaksi jual beli.

Sama seperti saya, malam ini. Membeli nasi pecel ayam dari Pak Jaya, setelah sebelumnya berusaha untuk membuat aura senang di lantai 4 ruko sederhana di kawasan Wijaya, Jakarta Selatan.

Bedanya, saya tak mencoba menyenangkan orang demi imbalan tumpukan rupiah.

Saya hanya ingin menjadi bagian dari lingkar pertemanan yang kokoh, yang jauh lebih berharga dari sekedar tumpukan rupiah cepat saji.


dhank Ari at 7:26 AM



Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

____penyuka :
jazz
puisi
sastra

____jejak setapakku :
+dalam gambar
+dalam puisi
+dalam menjelajah
+dalam jalin teman

____teman :
+Ade Pepe
+abe
+alaya
+bagus
+brewok
+budi
+buyung
+dewi kekasihku
+d juice
+desan
+didit
+dita
+djim
+dreamer
+e
+fira
+gendhot
+iebud
+ienk
+indie
+irma
+kang masanom
+luigi
+mona
+nita
+ochan
+poppi
+penyair kelana
+rieka +steyla
+smara
+yuhyi
+yunus

uncle 2B

by wdcreezz.com

Name

Email/URL

Message


code
here


Designer
LX