Photobucket - Video and Image Hosting
Monday, August 09, 2010

Jakarta, 29 Juli 2010

Orang bilang, hidup itu penuh warna.

Warna apa, De? Merah, Kuning, Kelabu, Hijau Muda atau Biru?
Tapi, tak ada yang meletus, kan, hingga membuat duniamu jadi kurang berwarna?

Orang terus menerus bilang jika hidup itu penuh warna. Tempat saya bekerja dulu bahkan punya slogan “hidup penuh warna”.

Tapi apa sih sebenarnya warna dalam hidup?

Saya dulu paling senang kalau Ibu membelikan Pentel, merek cat air dan juga crayon yang kala itu demikian populer diantara kami, anak sekolah lucu-lucu yang belum mengenal gincu atau sikap-sikap yang rancu. Apalagi ketika Papap buka kursus menggambar bagi anak-anak di kantor IFFH, Pasirkaliki. Setiap hari rabu dan sabtu, crayon atau cat air itu selalu ada di tas kulit saya yang kotak, yang kembar tapi beda warna dengan milik kakak saya, Neng Lia.

Saya gemar mencoretkan warna itu berkali-kali. Pada kertas. Pada buku. Pada sisa kanvas punya Papap. Atau bahkan pada dinding, ketika saya belum bisa berkata “Mama”.

Hampir seluruh batang berwarna itu saya sikat habis hingga kadang hanya menyisakan seujung kecil saja yang sudah sulit untuk saya pegang dengan tangan saya yang masih teramat mungil itu.

Saya telah mewarnai banyak hidup saya kala itu, yang mungkin tercurah lewat gambar rumah, gambar pemandangan, gambar mobil, dan gambar-gambar lainnya yang saya warnai. Mungkin, saya telah mencoba untuk mewarnai hidup saya di usia sedini itu.

Tapi apa benar itu yang kemudian saya sebut mewarnai hidup?

Terutama setelah belakangan, saya lebih memilih untuk menghabiskan crayon atau cat warna hitam dan putih saja, untuk membuat sketsa-sketsa kasar wajah Rabindranath Tagore, Mahatma Gandhi, Abraham Lincoln, bahkan sampai sketsa wajah-wajah fiktif yang lebih banyak saya temui dalam mimpi.

Apa lantas hidup saya kemudian menjadi ikut hitam putih?

Saya tak ambil pusing kala itu.

Saya hanya menyukai imaji-imaji hitam putih. Saya bahkan sangat menikmati sketsa-sketsa pinsil 6B saya, yang kemudian saya lenturkan garis-garis tegasnya dengan ujung jari saya hingga menghitam ruas-ruasnya, untuk mendapatkan efek bayangan atau juga kilasan.

Sungguh, “hidup penuh warna” tak pernah saya pedulikan.

Sampai akhirnya saya menemukan warna-warna terbaik di ujung senja. Di setiap ujung senja. Di sudut manapun yang pernah saya injak.

Termasuk di sebuah tempat magis bernama Pototano.

Di Pototano, warna senja itu bisa melahirkan jutaan warna dalam hidup saya seperti efek domino. Sama dengan yang pernah saya cumbui juga di banyak sudut terbuka alam, terutama pesisir.

Di Pototano, ruas jiwa saya tak albino. Seluruh pigmen itu terlahir tanpa harus mengenal batasan atau larangan berekspresi. Semuanya datang dan berbincang manis dengan saya, sebelum, saat dan setelah saya menyebrang selat untuk kembali ke Pulau Lombok dari Pulau Sumbawa.

Saya sampai lupa pada sandal saya yang sudah koyak dan tertinggal di bawah bangku ferry itu.

Saya sampai lupa jika pegal dan penat itu pernah demikian menjajah di bawah panas suhu Sumbawa pada hampir selama 20 hari sebelumnya.


dhank Ari at 7:26 AM



Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

____penyuka :
jazz
puisi
sastra

____jejak setapakku :
+dalam gambar
+dalam puisi
+dalam menjelajah
+dalam jalin teman

____teman :
+Ade Pepe
+abe
+alaya
+bagus
+brewok
+budi
+buyung
+dewi kekasihku
+d juice
+desan
+didit
+dita
+djim
+dreamer
+e
+fira
+gendhot
+iebud
+ienk
+indie
+irma
+kang masanom
+luigi
+mona
+nita
+ochan
+poppi
+penyair kelana
+rieka +steyla
+smara
+yuhyi
+yunus

uncle 2B

by wdcreezz.com

Name

Email/URL

Message


code
here


Designer
LX