Photobucket - Video and Image Hosting
Monday, August 09, 2010

Jakarta, 28 Mei 2010

Mendengarkan “Say It To Me Now”, saya ingin segera memeluk gitar dan mulai bernyanyi seperti Glen Hansard, meski saya tahu betul suara saya tak seberapa bagus.

Mendengarkan “Leaving On A Jet Plane”, saya juga ingin segera meniru gaya bernyayi John Denver sambil memainkan harmoni lewat gitar.

Bahkan mendengarkan “Arti Kehidupan” membuat dunia saya kembali berputar. Berputar ke masa dimana saya dan gitar seperti pinang dibelah dua. Berputar ke masa dimana saya rela menyisihkan uang tabungan saya sebesar 45 ribu rupiah untuk membeli gitar saya yang pertama. Gitar bermerek lokal Ariesta, yang saya beli di Banceuy, Bandung, di akhir tahun 1990.

Saya memang sedang rindu bermain gitar.

Saya ingin sekali berputar. Terutama akhir-akhir ini, dimana dunia saya kaku seperti cadas yang tak akrab dengan dinamika.

Saya ingin sekali berputar dengan bermain gitar seperti masa-masa itu dimana gitar selalu bisa membuat dunia saya dinamis, hingga kadang saya sendiri melakukan perjalanan batin yang jauh dari realita.

Pulang sekolah, bukan sepiring nasi yang saya kejar, melainkan “Ariesta” - sang gitar, yang belakangan penuh dengan sticker gratisan.Masih dengan baju putih abu-abu yang penuh peluh, saya mulai memetik melodi Fire House atau Bad English, atau bahkan Ermy Kulit.

Memulai kuliah di Depok, saya tak mengajak Ariesta. Biarlah dia menemani Rumah Ledeng, dan menunggu saya setiap akhir pekan atau akhir bulan saja. Dua bulan pertama saya di Bunaya, saya memang belum terpikir untuk banyak bermain gitar dan bernyanyi. Atau juga, mungkin karena aku masih merasa malu dan takut seandainya ada banyak rekan yang bermain gitar jauh lebih baik dari saya. Maklum, selama di Bandung pun, saya hanya menempatkan ruang senandung itu di sudut pribadi saja, tanpa banyak membuka pintunya untuk keriuhan.

Keluar dari Bunayya, lantas mengontrak rumah selama 2 tahun di ABAH, saya bisa sewaktu-waktu bermain gitar karena Hadi seringkali menaruh gitar birunya itu di ABAH.

Pindah ke Wisma Onansait, saya sedang getol menulis dan sedikit lupa pada melodi gitar kecuali jika ada kesempatan saja.

Kerinduan pada gitar mulai saat saya pindah ke Wisma Mitra. Akhir tahun 1996 itu, saya memang memulai hari-hari saya di Jalan Palakali dengan suasana yang sangat gundah. Menulis lantas tak lagi cukup mewadahi curahan hati saya yang makin buas.

Saya butuh melodi.

Tapi, di sisi lain, saya sedang tak berkenan pulang ke Rumah Ledeng. Pilihan saya saat itu membuat saya harus menciptakan jarak dulu dengan Rumah Ledeng. Termasuk menciptakan jarak dengan Ariesta.

Ingin membeli gitar baru, tapi sungguh itu adalah sebuah mimpi yang konyol di tengah isi dompet yang teramat kosong sementara tak ada lagi gitar bagus seharga 45 ribu rupiah.

Jadilah aku membawa teman baru ke kamar kecil saya di Wisma Mitra. Sebuah Ukulele seharga 25 ribu rupiah.

Empat buah senarnya terasa cukup mengisi melodi, terutama di saat malam, saat saya juga masih belum memiliki kesiapan untuk berkenalan akrab dengan para penghuni lama Wisma Mitra. Banyak melodi lahir di situ, dengan suara malu-malu saya. Namun, saya tak menyangka jika suara malu-malu saya itu belakangan justru menjadi jalan masuk bagi rekan-rekan Wisma Mitra untuk memulai kekerabatan yang sungguh erat hingga saat ini.

“Semalam, kayaknya asyik banget tu nyanyi-nyanyi sendirian di kamar?”, Verry Boekan, rekan yang memang paling supel, sempat memulai pembicaraan di sebuah pagi di depan gerbang Wisma Mitra. Tak jauh dari situ, Dharma juga tersenyum pada saya.

Saya lantas mengingat lagu-lagu yang saya nyanyikan malam sebelumnya itu. Seingat saya, ada beberapa lagu lama milik Panbers dan lagu keroncong “Kr. Kemayoran”. Ah, sedikit tersentak mundur saya pagi itu. Apa mungkin saya dibilang kuno karena tak melantunkan dewa atau lagu-lagu populer saat itu?

Lagi-lagi, gitar membuat dunia saya berputar, terutama karena Verry dan Dharma sama sekali tak memojokkan saya dengan pilihan lantunan saya malam itu. Kita justru malah memulai sebuah adegan pertemanan yang semoga bertahan sampai jauh. Pertemanan yang juga akhirnya membawa Ariesta ke Wisma Mitra, beberapa bulan setelahnya, hingga akhirnya saya titipkan Ariesta pada Verry dan Adnan saat saya memutuskan untuk tak lagi menyewa kamar di Wisma Mitra di awal tahun 2004.

Rindu saya pada gitar yang banyak membuat dunia saya berputar, juga pada melodi-melodi yang keluar


dhank Ari at 7:20 AM



Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

____penyuka :
jazz
puisi
sastra

____jejak setapakku :
+dalam gambar
+dalam puisi
+dalam menjelajah
+dalam jalin teman

____teman :
+Ade Pepe
+abe
+alaya
+bagus
+brewok
+budi
+buyung
+dewi kekasihku
+d juice
+desan
+didit
+dita
+djim
+dreamer
+e
+fira
+gendhot
+iebud
+ienk
+indie
+irma
+kang masanom
+luigi
+mona
+nita
+ochan
+poppi
+penyair kelana
+rieka +steyla
+smara
+yuhyi
+yunus

uncle 2B

by wdcreezz.com

Name

Email/URL

Message


code
here


Designer
LX