Photobucket - Video and Image Hosting
Monday, August 09, 2010

Jakarta, 2 Agustus 2010

Saat pertama kali memiliki telepon genggam, saya kerap menatapi layar kecil hitam itu sambil berharap telepon itu berbunyi. Senang rasanya jika ada orang yang rela menyisihkan uangnya dan memutar nomor telepon saya. Apalagi jika panggilan itu dari calon nasabah yang akan memberi saya rezeki lebih di hari itu.

Pulsa masih demikian mahal. Mungkin hanya orang berduit yang bisa seenaknya nelpon sana nelpon sini. Hanya orang yang benar-benar perlu, yang siap menukar apa saja demi sebuah panggilan singkat lewat frekwensi telepon genggam.

Saya sendiri, harus berpikir lebih dari 3 kali sebelum memutuskan untuk melakukan panggilan telepon dari telepon genggam saya. Lebih seringnya, saya pergi ke wartel agar tahu persis jumlah rupiah yang harus saya bayar, bukan mendadak kaget melihat sisa pulsa setiap kali saya memutar nomor *888#.
Beberapa bulan sebelumnya, sebelum saya memiliki telepon genggam, saya juga kerap menanti pesawat pager saya berbunyi.

Lagi-lagi, senang rasanya diperhatikan. Senang rasanya ada yang mencari tahu atau sekedar memberi tahu.

Namun, waktu berganti demikian cepat.

Sejak 3 tahun yang lalu, saya justru mengalami phobia setiap kali mendengar telepon genggam saya berbunyi. Bunyi telepon itu seperti neraka! Memaksa saya untuk meluangkan setitik waktu untuk mengangkat telepon sementara saya ada di tengah kesibukan yang hiruk atau justru sedang ada dalam kesunyian yang memang sengaja saya cari.

Saya seperti tak ingin lagi ponsel saya itu berbunyi. Biarlah sunyi saja dan duduk diam di pojok.
Atau, janganlah berbunyi seperti candu. Cukup sesekali saja. Cukuplah bunyi telepon itu menjadi pemanis harian, bukannya pengisi harian.

Saya lantas sering mengatur mode panggilan di ponsel saya dengan mode “silent”. Biarlah saya tahu mereka memanggil, dan biarlah mereka memanggil dengan kesunyian saja. “Silent Mode” hadir seperti bukan sebagai sebuah paksaan, melainkan permintaan. Selayak kunjungan santun pada agenda harian saya yang kadang seperti bom waktu.

Memang, saya akui, saya jadi sulit dihubungi.

Maklum, saya belum mampu mendengar bunyi yang tak berbunyi. Sementara ponsel yang bergetar pun kadang tak mampu saya deteksi, apalagi karena ponsel itu kerap bersembunyi di balik tumpukan kertas yang ramai di meja kerja.

Mungkin butuh telepati yang kuat untuk bisa menghubungi saya. Seperti menyampaikan sinyal pada bulan untuk kemudian diteruskan pada saya lewat bantuan angin.

Maaf, pada semua kerabat, rekan dan terutama istri saya, bila memang sulit melakukan panggilan yang bisa segera tersambung.

Saya sedang krisis privasi.

Privasi kini seperti makanan basi yang tak bisa lagi disantap.

Privasi kalah oleh tuntutan zaman yang menuntut semua hal yang serba cepat. Termasuk perihal “berhubungan”. Bukan lagi bulan, hari atau bahkan jam, perubahan itu bisa terjadi. Perubahan bisa terjadi dalam hitungan detik. Perubahan yang seringkali harus dikomunikasikan, harus mencapai titik “berhubungan” tadi.

Saya kadang jadi terperangkap dalam kebingungan millenium.

Saking bingungnya, saya seringkali melakukan telepati satu arah. Seperti rekan-rekan kerja saya yang sudah akrab dengan jawaban saya setiap kali ditanya mengenai up-date macam-macam hal.

“Bukannya udah gue bilangin, ya?”

“Kapan, dhank?” atau “Lewat apa?”

“Eh….dalam hati.”


dhank Ari at 7:26 AM



Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

____penyuka :
jazz
puisi
sastra

____jejak setapakku :
+dalam gambar
+dalam puisi
+dalam menjelajah
+dalam jalin teman

____teman :
+Ade Pepe
+abe
+alaya
+bagus
+brewok
+budi
+buyung
+dewi kekasihku
+d juice
+desan
+didit
+dita
+djim
+dreamer
+e
+fira
+gendhot
+iebud
+ienk
+indie
+irma
+kang masanom
+luigi
+mona
+nita
+ochan
+poppi
+penyair kelana
+rieka +steyla
+smara
+yuhyi
+yunus

uncle 2B

by wdcreezz.com

Name

Email/URL

Message


code
here


Designer
LX