Photobucket - Video and Image Hosting
Monday, August 09, 2010

Jakarta, 13 April 2010

Entah kenapa, saya suka sekali olahraga sepakbola.

Tapi, percaya atau tidak, saya baru sekali nonton pertandingan sepakbola berkarcis dari sebuah kompetisi di stadion secara langsung. Pertandingan Pra Piala Asia, Indonesia melawan Australia di Stadion Bung Karno, Senayan. Itupun baru di pertengahan tahun 2008, hampir 30 tahun setelah saya mengenal rasa suka saya terhadap sepakbola.

Saya masih ingat, pertengahan tahun 1982, saya menyaksikan sepakbola untuk pertama kalinya. Waktu itu, dunia seperti disihir oleh gelaran Piala Dunia Sepakbola di Spanyol. Bapak, yang saya tahu tak begitu gemar dengan olahraga massal ini, ketiban pulung oleh kewajiban menghibur anak-anaknya dengan tayangan televisi satu-satunya di negeri ini saat itu yang kerap menyajikan pertandingan-pertandingan dari Piala Dunia. Saya jadi ikut tersihir. Olahraga ini rupanya demikian memesona. Mata saya nyaris tak bisa lepas dari layar televisi hitam putih itu.

Lantas, saya, dengan kaki-kaki kecil seorang anak berusia belum genap 7 tahun, pun mulai menendang bola meski masih menendang tanpa aturan dan sekenanya saja. Bolanya pun kadang masih harus saya ganti dengan selembar kertas yang saya remas hingga bulat menyerupai bola.

Masuk SD, saya bertemu banyak teman yang rupanya juga suka sepakbola. Jadilah kami bermain setiap kali ada waktu kosong. Waktu-waktu kosong sambil menanti bel masuk kelas, jam istirahat pertama, jam istirahat kedua dan waktu bebas setelah pulang sekolah. Saya bahkan kerap menantikan saat-saat dimana guru tak masuk kelas atas alasan apapun sehingga kami bisa kembali menjajah lapangan beton di depan sekolah kami. Malam hari, saya selalu menantikan berita tentang sepakbola di dunia dalam berita TVRI. Bapak dan Ibu lama-lama tahu jika saya tak boleh diganggu di 3 sampai 5 menit berharga itu. Sampai akhirnya saya menemukan Maradona di tahun 1986, pahlawan sepakbola saya sampai saat ini.

Namun, sampai saya lulus SD, saya tak pernah menyaksikan sepakbola secara langsung di stadion. Termasuk menyaksikan klub bola kesayangan saya, Persib Bandung. Bapak tak pernah mengajak saya nonton sepakbola. Bapak lebih banyak mengajak saya belajar menggambar dan melukis bersama anak-anak didikannya di IFFH. Meski saya akhirnya sempat ikut pameran dan beberapa kali ikut lomba melukis, saya tahu bahwa jiwa saya masih melekat di guliran si kulit bundar. Di gol-gol indah yang selalu aku bayangkan disoraki oleh ribuan penonton.

Mungkin ada sedikit kesedihan dibalik kenyataan itu, tapi saya bersikeras untuk tidak merengek pada Bapak, juga Ibu. Tak adil, pikir saya. Biarlah saya menunggu saja ajakan itu.

Masuk SMP, saya sebenarnya punya keinginan untuk ikut sekolah sepakbola di kota saya, Bandung. Tapi, lagi-lagi saya menunggu. Saya berharap, Bapak akan melihat minat saya yang besar pada sepakbola dan mungkin, akan menyekolahkan saya di sekolah sepakbola. Setiap siang, saya pasti bermain bola bersama teman-teman saya di sekolah, sementara sore harinya, giliran teman-teman sekampung yang menjadi partner saya menggiring bola dan mencetak banyak gol-gol bersejarah. Dalam hidup saya.

Saya bermain bola, terus dan terus. Saya ingin tunjukkan bahwa selain karena minat, saya juga punya bakat mengolah si kulit bundar.

“Pap, tadi dhank Ari bikin 3 gol lho!”
“Pap, main bola yuk!”

Tapi sunyi. Harapan itu akhirnya kembali menipis setiap kali malam datang. Saya hanya bisa mencipta banyak mimpi sebagai pelampiasan sedih, sesaat sebelum tidur.

Harapan semakin menipis saja saat sepupu saya, A Beben, yang tinggal di rumah sempat dimarahi habis-habisan oleh Bapak dan Ibu. Alasannya karena A Beben terlalu serius bermain bola di klubnya daripada kuliah. A Beben sempat bersikeras untuk serius bermain bola dan menjadi pemain bola profesional. Apalagi, setahu saya, A Beben awalnya memang ingin kuliah di Fakultas Olahraga dan bukan di Fakultas Sosial dengan jurusan Dunia Usaha. Namun, keinginan itu dengan cepat dipatahkan Bapak dan Ibu, meski saya tak tahu persis atas alasan apa. Somehow, saya mungkin bisa merasakan kesedihan A Beben.

Saya lantas menjadi ciut. Saya pun tak lagi menunjukkan terang-terangan minat saya terhadap sepakbola pada Bapak dan Ibu, termasuk menonton pertandingan sepakbola secara langsung di stadion.

Di sisi lain, saya punya ketakutan.

Saya takut menangis jika menyaksikan sepakbola secara langsung, saking inginnya saya menjadi salah satu dari 22 pemain yang sedang bersenda gurau di lapangan.


dhank Ari at 6:56 AM



Photobucket - Video and Image Hosting

Photobucket - Video and Image Hosting

____penyuka :
jazz
puisi
sastra

____jejak setapakku :
+dalam gambar
+dalam puisi
+dalam menjelajah
+dalam jalin teman

____teman :
+Ade Pepe
+abe
+alaya
+bagus
+brewok
+budi
+buyung
+dewi kekasihku
+d juice
+desan
+didit
+dita
+djim
+dreamer
+e
+fira
+gendhot
+iebud
+ienk
+indie
+irma
+kang masanom
+luigi
+mona
+nita
+ochan
+poppi
+penyair kelana
+rieka +steyla
+smara
+yuhyi
+yunus

uncle 2B

by wdcreezz.com

Name

Email/URL

Message


code
here


Designer
LX