Monday, August 28, 2006
Anak-anak FObukan penggila belanja, melainkan penggila recehanKalau ke Bandung, hampir pasti ke FO. Tidak selalu beli, karena memang tak selamanya ada uang lebih di kantong. FO masih mencuat sebagai kemewahan karena secara jumlah, pakaianku sudah cukup, tak pantas berlebih. Jadi kalaupun ke FO, sekedar mengantar temen atau saudara. Atau memanjakan istri. Meski aku akui, aku pun merasa perlu memuaskan mata yang sudah suntuk direcoki layar monitor dan arsip-arsip.
Minggu lalu, juga mampir ke FO, sore-sore. Bareng Dewi, sang istri, juga sama Liza, adik ipar. Sebentar waktu di Heritage, kami akhirnya keluar tanpa membeli apa-apa. Maklum, dalam drama penjelajahan FO hari itu, Heritage adalah yang pertama dikunjungi. Tak baik langsung membeli pada toko pertama yang dimasuki.
Safir Senduk mungkin mengamini hal ini, begitu pula
Mak Irit.
Di parkiran itulah, kami bertemu lagi dengan seorang anak berusia kurang lebih 7 tahun, yang 'rasanya' pernah kami temui juga di tempat yang sama akhir juli lalu. Anak perempuan itu kembali menghampiri kami. Dia menawarkan sepucuk surat kabar, untuk kami beli. Hanya sepucuk, tidak lebih, dengan kondisi yang sudah setengah lecek.
___Pak, Bu, korannya, Pak!___
___Tinggal satu nih!___
___Buat makan!___
Anak ini bukan tipikal penjual koran. Mungkin aku sok tahu, tapi setidaknya itulah yang muncul di pikiranku sore itu. Aku alihkan pandang pada istriku dan dia nampaknya mengerti maksudku.
___Dia bukan jualan koran. Tapi mengemis.___
___Ya___
Aku ingat Lina. Dia juga anak kecil seusia anak kecil tadi yang sehari-harinya duduk di samping sebuah tiang besar di basement Mall Depok sambil menjajakan kripik singkong---
katanya buatan ibunya---sampai malam. Aku sempat beli kripiknya satu kali. Waktu itu, aku lebihkan 1000 rupiah karena aku tak tega melihatnya berjualan. Di tempat kost aku baru sadar, bahwa dia bukanlah penjual kripik singkong melainkan seorang pengemis yang menggunakan kedok 'berjualan kripik singkong' untuk menarik simpati orang.
Saat itu, aku tidak marah atau merasa tertipu. Walau bagaimanapun, dia tetap tak seberuntung aku. Tapi aku kembali menemui dia keesokan harinya. Selain akhirnya tahu bahwa namanya adalah Lina, aku juga kemudian tahu bahwa dia melakukan itu atas permintaan ibunya ---atau bisa jadi paksaan--- dengan alasan untuk uang jajan.
Perbincangan dengan Lina, 7 tahun yang lalu itu, lantas membuatku tersenjap. Mataku liar, mencari sosok ibu-ibu muda yang kemungkinan besar adalah ibu dari anak kecil yang menjajakan koran hanya sepucuk itu.
___Pasti ada ibunya di sekitar sini___
kataku pada istriku.
Dewi mengamini dan ikut mencari.
Tak lama, sosok ibu muda itupun muncul dan menghampiri sang anak, sambil membawa sebotol teh hijau dingin. Aku dan Dewi, mencoba memperkirakan apa yang sang ibu katakan pada anaknya saat memberikan minuman itu.
Mungkinkah begini? :
___Nih, hadiahnya! Kamu kerja bagus hari ini, jadi Mama jajanin deh___
Kenapa anakmu yang kau suruh mengemis sementara kau hanya duduk di pinggir jalan sambil ngomong ngalor ngidul sambil sesekali meniupkan asap rokok ke jalanan?
dhank Ari at 9:51 PM